Sabtu, 15 Agustus 2009

Berpuasa , Untuk Apa?

Jawaban halal-haram tentang persoalan kehidupan, meskipun masih diperlukan, ternyata tidak seluruhnya mengobati rasa dahaga umat, termasuk di dalamnya: “problematika puasa”. Pertanyaan orang tentang puasa tidak terbatas pada keinginan orang untuk mendapatkan jawaban halal-haram. Lebih jauh dari itu, umat islam sudah sampai pada pertanyaan tentang “untuk apa” kita berpuasa. Pertanyaan aksiologis tentang puasa dari sejumlah Muslim kritis ini memerlukan jawaban lebih dalam daripada sekadar jawaban-jawaban yang selama ini banyak dikemas dalam buku-buku pedoman puasa pada umumnya. Saatnya umat islam, kini berpuasa untuk menjadi “khoiru ummah” (umat yang terbaik)!
Ketika kita telusuri dalam kitab-kitab tafsir, syarah Hadist, fiqih, dan utamanya kitab0kitab yang bernuansa tasawuf, perintah berpuasa dengan keragaman bentuk dan cara, ternyata memiliki tujuan sama ”membangun kualitas diri (ketakwaan)”, dengan pola: “Pengendalian Syahwat”.
Terkait dengan pusa seagai upaya pengendalian syahwat, Ibnu Katsir dalam tasfsirnya mengatakan, sejak Nabi NUH as hingga Nabi Isa as puasa diperintahkan untuk dilakukan tiga hari setiap bulannya (layaknya puasa sunnah ayyam al-bidh bagi umat islam hingga kini).Bahkan, Nabi Adam as diperintahklan untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk “puasa” pada masa itu. Begitu juga, Nabi Musa as bersama kaumnya (juga) berpuasa empat puluh hari. Dalam Q.S. Maryam dinyatakan Nabi Zakaria as dan Maryam sering mengamalkan puasa. Nabi Daud as pun melaksanakannya dengan cara “sehari puasa dan sehari berbuka” pada tiap tahunnya. Nabi Muhammad saw sendiri sebelum diangkat menjadi rasul telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa Asyura pada hari ke-10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain. Konon bahkan masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu turut mengamalkan puasa Asyura. Begitu pula, binatang dan tumbuh-tumbuhan (juga) dinyatakan “melakukan puasa” demi kelangsungan hidupnya. Selama mengerami telur, ayam harus berpuasa. Demikian pula, ular berpuasa baginya untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindung dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat-ulat pemakan daunpun berpuasa, jika tidak ia tak kan lagi menjadi kupu-kupu dan menyerbuk bunga-bunga. Jika berpuasa merupakan sunah thabi’iyyah (natural tradition, tradisi alami) sebagai langkah untuk survive.
Kini, pertanyaan lanjutnya, mengapa manusia enggan melakukannya? Terlebih lagi jika perintah untuk berpuasa diembankan kepada umat islam – meminjam pernyataan Nurcholish Madjid (1997), tentu saj memiliki makna tersendiri. Karena, ternyata puasa bagi setiap Muslim, bukan saja bermakna menahan dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, melainkan meredleksikan diri untuk turut serta hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis, memusnahkan kecemburuan social serta melibatkan diri dengan sikap tepa selira dengan menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk selalu peka terhadap lingkungan.
Rahasia-rahasia puasa, kita simak dalam kajian tafsir Al-Qur’an, ternyata ada pada kalimat terakhir yang teramat singkat pada ayat QS. Al-Baqarah [2] : 183. “Di dalam ayat tersebut Allah SWT mengakhiri ayat tersebut dengan rangkaian kata “la’allakum tattaquun (agar kalian bertaqwa)”, yang esensinya adalah “harapan”, sekaligus “kepastian” perolehan kemampuan setiap pelakunya untuk memproteksi diri dari segala bentuk nafsu-kebinantangan yang menganggap ‘perut besar’ sebagai agama, menjaga jati diri kemanusiaan dan sifat kodrati manusi dari perilaku layaknya binatang. Dengan puasa, manusia dapat menghindari diri dari bentuk perilaku yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain, sekarang (di dunia) atau nanti (di akherat).
Simpulan pentingny, ketika kita sudah menjadi “seseorang” yang bermakna dengan kesempurnaan puasa kita, ketika kita mampu dan berkesempatan untuk berbuat sesuatu untuk sesama, mkenapa kita tidak berpikir dan segera berbuat untuk menolong siapa pun untuk menjadi “seseorang seperti kita?” Dan, saat ini, di ketika hampir semua orang membutuhkan uluran tangan kita, “kita tak boleh menunggu”. Kita harus sadar, bahwa kita tidak hanya dibebani untuk menjadi baik untuk diri kita sendiri, tetapi juga berkewajiban untuk “bersedekah”, menjadikan orang lain sebaik diri kita, dan bahkan, kalau mungkin, lebih dari itu!
Selmat berpuasa, untuk menjadi “Yang Pertama dan Utama” dalam berlomba untuk bersinergi, menjadi yang terbaik untuk diri kita bersama, menjadi “khoiru ummah” (umat yang terbaik).
Fastabiqu al-khoirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar